Sabtu, 23 Mei 2009

TANTANGAN DAN PERMASALAHAN STRUKTUR DAN PERILAKU AGRIBISNIS SAAT INI

TANTANGAN DAN PERMASALAHAN
STRUKTUR DAN PERILAKU AGRIBISNIS SAAT INI

Oleh:
Eni Setyowati, SP., MM.

Pembangunan pertanian pada saat ini menghadapi tantangan yang semakin ketat dan komplek, terutama dalam mengantisipasi kondisi ekonomi yang berkembang secara cepat dan dinamis. Dengan terbentuknya WTO dan adanya kesepakatan negara kawasan seperti AFTA (2003), APEC (2020), NAFTA, MEE, mau atau tidak, suka atau tidak, agribisnis dan pembangunan sektor pertanian tidak akan dapat menghindari diri dari arus globalisasi yang makin kompetitif. Agribisnis akan menghadapi tantangan, karena:
a. Agribisnis domestik harus dapat hidup mandiri tanpa bantuan subsidi dan proteksi pemerintah.
b. Agribisnis domestik harus siap menghadapi persaigan terbuka dengan perusahaan luar negeri.
c. Instrumen kebijakan pembangunan pertanian harus disesuaikan dari yang bersifat bantuan dan proteksi langsung (subsidi, dukungan harga, tarif, kuota) ke yang bersifat fasilitator dan bimbingan (pembangunan prasarana, riset, penyuluhan, informasi pasar).
Masyarakat agribisnis juga akan menghadapi tantangan sulitnya transfer teknologi dari luar negeri, karena adanya regulasi hak milik intelektual. Masyarakat agribisnis akan dihadapkan pada suatu keharusan memulai dan terus memperkuat upaya-upaya penelitian dan pengembangan sendiri.
Disamping berbagai tantangan yang harus dihadapi, pertanian kita juga mengalami masalah karena usahatani kita lebih dicirikan oleh usahatani keluarga dan bukan usahatani industrial.
Pengetrapan teknologi dalam usahatani ternyata juga mengalami penurunan, yang dapat dilihat pada penggunaan saprodi yang kurang efisien dan tidak sesuai anjuran, sehingga perkembangan peningkatan produktivitas sangat lambat.
Dukungan permodalan, melalui kebijaksanaan Pemerintah di bidang perkreditan selama ini ternyata juga masih bersifat umum, sedangkan dalam hal tertentu kredit pertanian sebenarnya memerlukan kebijaksanaan yang bersifat spesifik. Selain kredit yang bisa dimanfaatkan seperti KUK, KKPA, KUT, tingkat suku bunganya relatif tinggi untuk mengembangkan agribisnis yang kompetitif. Alternatif permodalan lain seperti penyisihan keuntungan BUMN dan yang lain juga belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena berbagai kendala.
Pewilayahan komoditas yang terkesan tumpang tindih dan penyebarannya tidak merata, serta kondisi infra struktur yang belum sepenuhnya mantap merupakan kendala bagi usaha pengembangan agribisnis.
Struktur agribisnis yang ada saat ini lebih dapat digolongkan sebagai tipe dispersal, dengan ciri tiadanya hubungan organisasi fungsional diantara setiap tingkatan usaha. Jaringan agribisnis hanya diikat dan dikoordinir oleh mekanisme pasar (harga). Hubungan antara sesama pelaku agribisnis hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan tidak menyadari bahwa mereka saling membutuhkan. Bahkan hubungan diantara pelaku agribisnis cenderung berkembang menjadi bersifat eksploratif yang pada akhirnya menjurus ke kematian bersama. Lebih ironis lagi pola agribisnis dipersal tersebut diperburuk oleh berkembangnya asosiasi pengusaha horizontal (usaha sejenis) yang bersifat asimetri dan cenderung bersifat sebagai kartel. Hal ini terlihat dari tiadanya asosiasi para pelaku agribisnis yang efektif di tingkat hulu (petani), sedangkan asosiasi pelaku agribisnis di tingkat hilir (industri pengolahan, pedagang/eksportir) sangatlah kuat.
Hubungan impersonal-eksploitatif dan tiadanya asosiasi agribisnis vertikal tentu akan menyebabkan kalitas produk (komoditi) pertanian tidak dapat disesuaikan dan dijamin seperti yang diinginkan oleh konsumen. Hal ini terjadi karena:
a. Informasi tentang karakteristik produk yang diinginkan konsumen tidak sampai dengan cepat dan tepat ke seluruh tingkatan agribisnis mulai dari hilir hingga hulu (petani).
b. Kegiatan setiap tahapan agribinsnis tidak terpadu secara vertikal sehingga kualitas produk akhir yang dihasilkan tidak dapat dijamin.
c. Pasar cenderung terdistorsi sehingga tidak ada insentif untuk meningkatkan mutu produk.
Struktur agribisnis dispersal tidak sesuai lagi dengan tuntutan perubahan fundamental dalam pasar global, dan hal ini pulalah yang menyebabkan daya saing agribisnis Indonesia pada umumnya masih lemah.
Dari segi transfer teknologi (modernisasi) struktur agribisnis dispersal juga tidak baik, karena menjadikan yang paling mengetahui dan akses terhadap perkembangan teknologi modern adalah kelompok agribisnis yang berada pada kutub hilir. Kutub hulu yang berada di pedesaan kurang akses terhadap informasi maupun pasokan teknologi modern. Modernisasi teknologi pertanian akan lambat, bahkan terjadi dualisme kemajuan teknologi yang sangat kontras pada kedua kutub tersebut.
Sebagai upaya untuk pemecahan masalah di atas perlu dilakukan proses konsolidasi usahatani komoditas unggulan sampai pada skala produksi yang efisien. Petani dari masing-masing desa berada pada wadah kelompok tani komoditas unggulan. Kelompok-kelompok tersebut diarahkan berorientasi bisnis, dan merasa perlu untuk membentuk Kelompok Usaha Bersama Agribisnis. Dalam perkembangannya Kelompok Usaha Bersama Agribisnis diharapkan menjadi Koperasi Agribisnis, dengan wilayah usaha dalam satu kecamatan.
Koperasi agribisnis inilah yang diharapkan melakukan kemitraan dengan pola vertikal diantara seluruh tahapan vertikal agribisnis dalam alur produk melalui mekanisme non-pasar, sehingga karakteristik produk akhir yang dipasarkan dapat dijamin dan disesuaikan dengan preferensi konsumen akhir.


Penulis adalah Dosen Fakultas Pertanian Universitas Tulungagung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar